JAHAT, BODOH, MISKIN DAN TIDAK BAHAGIA… MESAK’KE MEN…..
Kebanyakan kiblat cara berpikir , bukan kemaslahatan rakyat, melainkan kemenangan golongan. Setiap golongan tidak mau kalah, kalau ada yang kalah, itu pasti terpaksa dan tidak rela.
Dan karena yang kalah tidak pernah rela atas kekalahannya , maka lebih tidak rela lagi atas kemenangan golongan lain, Inilah yang selama ini di sebut sebagai dialektika ketidakrelaan.
Spektrum psikologi budaya manusia memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk tidak merelakan sukses orang lain. Ini berlaku dalam skala besar negara dan bangsa, sampai skala kecil pergaulan sehari hari dengan tetangga.
Jangankan merelakan orang lain untuk menang, jangankan mensyukuri keberhasilan orang lain, jangankan memakai kearifan cinta social di mana kebahagiaan saudara kita adalah juga kebahagiaan kita. Sedangkan kita juga sangat berbakat untuk tidak merelakan orang lain bisa baik. Kalau ada saudara kita baik, kita sinis. Kalau ada tetangga kita khusyu beragama, kita curigai. Kalau ada orang lain memperbaiki dirinya, kita tidak percaya. Jangankan lagi terhadap tokoh nasional dan orang orang besar, sedangkan terhadap teman pergaulan saja kita tidak mampu bersikap dewasa.
Kalau ada maling, kita bergembira kalau ia tetap maling, sehingga kita punya banyak kesempatan mengutuknya dan menghajarnya. Jangan sampai ada orang yang bertobat dan insaf. Keburukan orang lain adalah kenikmatan bagi kita. Semakin buruk orang semakin puas dan lezat rasa hati kita.
Orang yang sudah terlanjur kita benci, jangan sampai mendapatkan taubat di hadapan Allah. Harus kita rekayasa sedemikian rupa sehingga ia tetap dan pasti masuk neraka. Jangan sampai ada keinsafan, kesadaran, khusnul khatimah. Itu mengacaukan psychology-cal survival kita.
Kita butuh keburukan orang lain, kita butuh kehancuran orang lain – supaya kita tidak mati psikis. Itulah jenis kejahatan yang diam diam mengendap dalam diri kita. Itulah contoh kebodohan telanjang diri kita.
Dan itu kita jalani dengan hati yang mantap, serta kita hiasi dengan segala macam teori dan retorika tentang kebenaran, nasionalisme, masa depan generasi penerus, ideology kerakyatan atau apapun saja yang bisa kita ambil untuk aksesoris kejahatan kita.
Dengan kejahatan dan kebodohan habis habisan semacam itu, tidak ada keuntungan hidup apapun yang kita peroleh. Dengan kejahatan dan kebodohan itu, kita tetap melarat dan tak bahagia.
Banyak orang dari hari ke hari mengisi hati dan pikirannya, menghiasi pena dan mulutnya dengan kejahatan dan kebodohan semacam itu dan ia tetap miskin dan tidak bahagia. Hidupnya nelangsa dari pagi hingga sore, dari sore hingga pagi. Dan jika malam tiba, ia bersujud dan berdoa :
“ Ya Tuhan, selamatkanlah diriku……….”
Dan mungkin Tuhan menjawab : “ Ah………yang bener aje…………….”
cn
Kebanyakan kiblat cara berpikir , bukan kemaslahatan rakyat, melainkan kemenangan golongan. Setiap golongan tidak mau kalah, kalau ada yang kalah, itu pasti terpaksa dan tidak rela.
Dan karena yang kalah tidak pernah rela atas kekalahannya , maka lebih tidak rela lagi atas kemenangan golongan lain, Inilah yang selama ini di sebut sebagai dialektika ketidakrelaan.
Spektrum psikologi budaya manusia memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk tidak merelakan sukses orang lain. Ini berlaku dalam skala besar negara dan bangsa, sampai skala kecil pergaulan sehari hari dengan tetangga.
Jangankan merelakan orang lain untuk menang, jangankan mensyukuri keberhasilan orang lain, jangankan memakai kearifan cinta social di mana kebahagiaan saudara kita adalah juga kebahagiaan kita. Sedangkan kita juga sangat berbakat untuk tidak merelakan orang lain bisa baik. Kalau ada saudara kita baik, kita sinis. Kalau ada tetangga kita khusyu beragama, kita curigai. Kalau ada orang lain memperbaiki dirinya, kita tidak percaya. Jangankan lagi terhadap tokoh nasional dan orang orang besar, sedangkan terhadap teman pergaulan saja kita tidak mampu bersikap dewasa.
Kalau ada maling, kita bergembira kalau ia tetap maling, sehingga kita punya banyak kesempatan mengutuknya dan menghajarnya. Jangan sampai ada orang yang bertobat dan insaf. Keburukan orang lain adalah kenikmatan bagi kita. Semakin buruk orang semakin puas dan lezat rasa hati kita.
Orang yang sudah terlanjur kita benci, jangan sampai mendapatkan taubat di hadapan Allah. Harus kita rekayasa sedemikian rupa sehingga ia tetap dan pasti masuk neraka. Jangan sampai ada keinsafan, kesadaran, khusnul khatimah. Itu mengacaukan psychology-cal survival kita.
Kita butuh keburukan orang lain, kita butuh kehancuran orang lain – supaya kita tidak mati psikis. Itulah jenis kejahatan yang diam diam mengendap dalam diri kita. Itulah contoh kebodohan telanjang diri kita.
Dan itu kita jalani dengan hati yang mantap, serta kita hiasi dengan segala macam teori dan retorika tentang kebenaran, nasionalisme, masa depan generasi penerus, ideology kerakyatan atau apapun saja yang bisa kita ambil untuk aksesoris kejahatan kita.
Dengan kejahatan dan kebodohan habis habisan semacam itu, tidak ada keuntungan hidup apapun yang kita peroleh. Dengan kejahatan dan kebodohan itu, kita tetap melarat dan tak bahagia.
Banyak orang dari hari ke hari mengisi hati dan pikirannya, menghiasi pena dan mulutnya dengan kejahatan dan kebodohan semacam itu dan ia tetap miskin dan tidak bahagia. Hidupnya nelangsa dari pagi hingga sore, dari sore hingga pagi. Dan jika malam tiba, ia bersujud dan berdoa :
“ Ya Tuhan, selamatkanlah diriku……….”
Dan mungkin Tuhan menjawab : “ Ah………yang bener aje…………….”
cn